Melihatnya duduk di tepi pantai membiarkan ujung-ujung kakinya basah. Rambutnya panjang tergerai indah, hitam dan lebat. Paras yang tidak bisa dikatakan jelek, hidung mancung, mata bulat dengan sinar beningnya, bentuk wajah yang bulat dan dagu yang sedikit terbelah. Nyaris setiap hari gadis ini duduk di pinggir pantai. Aku senantiasa menemaninya di sini. Walau kami tidak pernah saling berbicara. Tapi aku tahu apa yang sedang perempuan ini risaukan.
Orang-orang melihatnya dengan pandangan mengiba. Kecantikan yang dimiliki gadis itu seolah tertelan dengan penampilannya yang lusuh. Mata beningnya itu menatap kosong ke arah lautan lepas. Dia hanya berdiam diri dan duduk di sana. Tak ada ekspresi yang tersirat di raut wajahnya. Hanya kekosongan. Mereka tidak tahu siapa gadis ini dan dari mana asalnya. Dia benar-benar hidup dalam dunianya saja, datang dan pergi ke pantai itu dengan sesuka hati. Seolah dia sedang menanti sesuatu yang tidak pernah kunjung menghampirinya.
Dia Larasati. Setidaknya hanya itu yang penduduk sekitar pantai ketahui. Dimana dia tinggal tidak seorang pun yang tahu atau pun perduli. Di mata mereka dia hanyalah gadis gembel yang tidak punya arti sama sekali. Hanya angin dan suara deru ombak yang menemaninya bercerita. Pasir menjadi kawannya. Senyum pun tidak pernah terukir di wajah cantiknya. Tapi siapa yang perduli dengan gembel seperti dia.
Aku datang dengan kekosongan…
Pergi dengan ketiadaan…
Aku hanyalah jiwa yang hampa…
Tak perlu ada yang perduli padaku…
Aku berdiri, berjalan, dan juga berlari sendiri…
Tanpa kawan, tanpa sahabat…
Hanya berkawan angin, berteman pasir…
Bermain dengan ombak…
Aku jiwa yang hampa, menanti sesuatu yang tak pasti…
Jawaban yang terdengar dari bibirnya ketika orang bertanya siapa dia, dari mana asalnya dan apa yang sebenarnya dia cari adalah untaian puisi itu. Larasati seolah menjadi sosok misterius yang berbalut kabut gelap, kelam dan hitam. Tidak tersirat apapun dari sorot matanya, dia hanya kosong.
Tak ada orang yang mengetahui siapa Larasati sebenarnya, hanya aku, ombak dan angin yang menjadi saksi bisu siapa Larasati itu. Gadis ini tidak mudah percaya dengan orang-orang di sekitarnya. Berawal dari kepercayaan itulah dia jadi hancur seperti ini. Dia menaruh segudang mimpi dan kepercayaan pada seorang kaya. Janji untuk memberinya pekerjaan layak dibandingkan hanya menjadi petani desa. Ya, dan bodohnya dia percaya pada orang itu, sangat percaya padanya.
Seandainya dia tahu apa yang akan terjadi padanya, dia akan lebih memilih jadi seorang petani desa dari pada menerima tawaran tersebut. Taruhan yang ditawarkan ternyata begitu besar dan riskan untuk dia bisa melanggar perjanjian kontrak.
“ Kamu nanti di sekolahkan, Laras.” Jelas orang itu dengan meyakinkan. “ Terus kamu bakal diberi pekerjaan yang sesuai dengan ketrampilan kamu nanti.”
“ Tapi saya cuma lulusan SMP.” Larasati ragu.
“ Maka dari itu kamu akan disekolahkan atau dikursuskan perusahaan.” Sahut orang itu lagi.
“ Lalu?”
“ Lalu kamu akan dipekerjakan di salon kecantikan yang ada di kota.”
Dalam benak Larasati penuh dengan pertanyaan-pertanyaan dan juga pertentangan. Tapi dia punya mimpi untuk mengangkat derajat orang tuanya. Dia sudah muak dihina oleh orang-orang. Keragu-raguannya dikalahkan oleh impiannya. Oleh karenanya dia memutuskan untuk menerima tawaran orang itu dan mempertemukannya dengan kedua orang tuanya.
Keluguan ayah dan ibunya benar-benar mereka manfaatkan. Larasati pun hanya diminta menandatangani kontrak yang tidak pernah boleh dibacanya sama sekali. Lalu kedua orang tuanya pun diberikan uang muka sebesar tiga puluh juta rupiah untuk keperluan sehari-hari selama Larasati menjalani kontrak. Tak lama berselang, anak gadis semata wayang mereka pun berangkat menuju kota yang diyakini akan mewujudkan impiannya. Usia Larasati saat itu masih sangat muda. Bahkan bisa dikatakan di bawah usia minimum untuk bekerja, yaitu 15 tahun. Tapi demi keluarganya dia nekad untuk menjalani semua ini.
Awalnya dia memang didaftarkan sebagai peserta kursus juga bersekolah di sekolah kejuruan kecantikan. Di sana di belajar menata rambut, merawat wajah dan juga belajar cara massage tubuh. Larasati begitu tekun menjalani pendidikan itu. Sementara dalam pendidikan, dia juga bekerja sabagai capster di sebuah salon kecil. Larasati merasa impiannya akan benar-benar terwujud. Dia yakin kehidupan keluarganya akan jauh lebih baik nantinya.
Untuk ayah dan ibu…
Salam hormat dari ananda Larasati untuk ayah dan ibu.
Bagaimana kabar ayah dan ibu di desa? Laras berharap kalau kabar ayah dan ibu sehat-sehat saja. Saat ini Laras bersekolah di sekolah kejuruan kecantikan. Keahlian ananda bukan lagi hanya mengolah kebun atau menanam padi di sawah. Semoga kehidupan kita akan menjadi lebih baik setelah ini. Mohon doa restu dari ayah dan ibu. Salam rindu dari anandamu…Larasati.
Surat pendek itu dimasukannya dalam amplop. Di matanya tersirat kerinduan yang teramat sangat untuk orang tuanya. Dia mengirimkan surat itu bersama asa yang selama ini dia rajut sendiri. Bersama pengharapannya selama ini.
Hari di mana surat itu dikirim adalah saat kelulusan Larasati dari pendidikannya. Tiga tahun membuat itik desa itu berubah menjadi angsa istana. Gadis desa itu tidak ada lagi, yang ada sekarang adalah gadis cantik dengan fisik yang sempurna. Kulitnya tidak lagi terbakar matahari, rambutnya tidak lagi acak-acakkan. Larasati benar-benar menjelma jadi seorang puteri.
“ Salon ini sudah bukan tempat kamu lagi Laras.” Ujar pemilik salon tempatnya bekerja.
“ Lho, kenapa? Apa kerja saya kurang bagus Bu?” Tanya Larasati bingung.
“ Bukan, bukan begitu. Salon ini adalah tempat tinggal kamu sementara menyelesaikan pendidikan. Tapi setelah kamu lulus, maka kamu harus menjalani kontrak kerja yang sebenarnya.” Jelas pemilik salon itu lagi.
“ Maksud ibu? Ini bukanlah tempat kerja yang dijanjikan?” Larasati jadi semakin bingung.
“ Kamu akan dipekerjakan di spa yang lebih besar dan dengan gaji yang sangat tinggi.”
Mata Larasati membelalak senang. Ternyata impian yang selama ini dibayangkan jauh lebih besar kenyataannya. Hanya saja dia tidak pernah tahu apa yang akan dihadapinya setelah keluar dari tempat ini.
Sebuah perusahaan spa yang memang bisa dikatakan cukup besar dan terkenal. Larasati jadi semakin berbunga-bunga. Begitu masuk ke perusahaan itu, dia kembali di training. Pada masa pelatihan itulah kecurigaan Larasati mulai muncul. Spa yang selama ini dipelajarinya tidak sama dengan yang ditemui dalam pelatihan ini. Tapi kecurigaan itu segera ditepisnya.
Masa pelatihan selama dua bulan akhirnya berakhir. Kini dia resmi menjadi karyawan dalam perusahaan spa itu. Larasati tetap memiliki rasa was-was ketika dia dikirim keluar kota. Dan begitu dia mulai bekerja, hati nuraninya langsung menolak semua itu. Ternyata apa yang dikhawatirkannya selama ini terjadi. Dia tidak menjadi terapis bagi wanita tapi menjadi terapis bagi laki-laki hidung belang.
Tenaganya diperas, dan dia dibayar sesuai dengan berapa banyak klien yang dimassagenya. Kalau dia melawan, maka gajinya akan dipotong sebanyak waktu yang dia buang. Kalau dia membuat kesalahan, maka gajinya juga akan dipangkas sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya dan dia akan mendapat ancaman skorsing. Larasati berusaha bertahan. Dia mencoba tabah dan tidak ingin putus asa karena dia sudah terlalu jauh melangkah. Walau tidak jarang dia menghadapi laki-laki iseng yang kurang ajar.
Ketika nuraninya sudah memberontak, maka dia memberanikan diri untuk protes dan mengundurkan diri.
“ Pak, saya tidak mau melakukan ini lagi!” tegasnya.
“ Baik, kamu bisa bebas. Asal kamu mengganti rugi uang yang sudah perusahaan bayarkan kepada orang tuamu sebanyak dua kali lipat.” Jawab pimpinan cabang perusahaan tempatnya bekerja.
“ Enam puluh juta?!? Dari mana saya bisa dapat uang sebanyak itu, Pak?!?” teriak Larasati.
“ Atau kalau kamu mau, kamu bisa tidak mengembalikan uang itu. Tapi orang tua kamu jadi tahanan polisi dengan tuduhan penipuan.’ Tantang laki-laki setengah baya itu. Dia merasa menang karena dia tahu benar Larasati tidak akan mampu dan bisa untuk membiarkan orang tuanya menderita di dalam bui. Apalagi Larasati dan keluarganya buta hukum.
“ Kalian….perusahaan ini benar-benar licik!” amarah Larasati membuncah dan dia pun keluar dari ruangan pimpinan sembari membanting pintu.
Di asrama tempatnya tinggal, Larasati menangis. Air matanya tumpah karena kepedihan dan rasa sakit hati karena tertipu. Yang paling menyakitkan adalah karena dia melibatkan kedua orang tuanya dalam masalah ini. Sejak saat itu, dia menjadi pemurung. Tapi dia aktris yang hebat, di depan para tamu dia bisa tersenyum seolah tidak memiliki beban. Bahkan dia bisa bersikap ramah dan ceria.
Suatu hari ketika mendung tengah menggelayut dan dia sedang libur, sebuah kabar membuat hatinya hancur. Orang tuanya dikabarkan meninggal karena tertimbun tanah longsor. Ini membuat pondasi pertahanan Larasati runtuh. Dia tidak tahu untuk siapa dia harus bertahan sekarang.
Kehilangan tujuan membuat dia terus bekerja di peruahaan itu. Tapi dia tidak perduli dengan apa yang terjadi padanya. Sampai suatu hari seorang laki-laki yang mungkin seusia ayahnya mendekatinya. Dia berharap mendapat sosok pengganti untuk ayahnya dimana dia bisa menumpahkan keluh kesah. Banyak hadiah yang dikirimkan untuk Larasati. Mulai dari yang biasa saja sampai yang dikategorikan mewah.
“ Bapak kenapa baik sekali sama saya?” Tanya Larasati ketika dia makan malam dengan kliennya itu.
“ Tidak ada apa-apa. Hanya saja bapak suka dengan kamu.” Jawab laki-laki itu tanpa basa-basi. “ Kamu mau jadi istri bapak?”
“ Maaf Pak, saya tidak bisa lepas dari kontrak sebelum 2 tahun.” Sahut Larasati. Sebenarnya jawaban itu merupakan sebuah penolakan halus yang terlontar dari bibirnya. Karena dia tahu orang ini mudah saja mengeluarkan uang tebusan untuknya. Tapi dia sama sekali tidak ingin menjadi istri dari laki-laki hidung belang seperti dia.
Gadis lugu ini tidak memperhatikan raut kecewa dan marah dari lawan bicaranya. Dia sama sekali tidak perduli. Dia ingin menikah, untuk pertama dan terakhir kali apalagi menikah dengan merusak rumah tangga orang lain. Dia tahu betul laki-laki itu sudah memiliki istri dan anak yang seusia dirinya.
Namun dia tidak tahu siapa yang ditolaknya. Laki-laki itu adalah orang penting yang bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan walau itu sulit. Apalagi hanya untuk mendapatkan perempuan dari perusahaan spa seperti dirinya. Orang itu pun tahu betul bagaimana cara dia bisa mendapatkan Larasati. Dia hanya tinggal menyerahkan uang sebesar enam puluh juta kepada peruahaan itu bahkan lebih dan Larasati pun bisa jadi miliknya.
Benar saja, di belakang Larasati ternyata sudah ada transaksi keji yang dilakukan oleh pimpinannya. Uang tebusan atau lebih tepatnya Larasati sudah dibeli dengan uang sejumlah delapan puluh juta oleh laki-laki itu. Ketika dia mengetahui hal tersebut, semua sudah terlambat. Larasati tidak bisa lari lagi. Dia sudah terkurung dalam sangkar yang berwujud rumah mewah. Dia bukan lagi seorang gadis yang bebas. Sekarang dia menjadi wanita simpanan dari orang itu.
Satu tahun dia menahan sakit dan pedih dengan keadaannya saat ini. Tak jarang dia meratap dalam doa. Dia lebih baik memilih untuk mati daripada dia berstatus simpanan seperti ini. Baginya itu hal yang hina, dia sudah melukai hati sesama wanita. Dia ingin memberontak. Dia ingin lari.
Karena tidak sanggup untuk lari, maka tempat pelariannya adalah menyepi di tepi pantai. Membiarkan ujung-ujung kakinya basah terkena air laut. Walau dia harus ditemani seorang pembantu yang lebih tepatnya dikatakan sebagai pengawas agar dia tidak kabur. Larasati cukup menikmati keendiriannya ini. Dia merasakan ketenangan dan kebebasan yang selama ini tidak pernah dia dapatkan walau sudah bebas dari perusahaan itu. Dia bisa saja lari, tapi tidak dilakukannya. Karena sekarang dia tidak memiliki tempat untuk pulang selain rumah mewah itu.
Usia perkawinannya mencapai 1 tahun. Ketika itu usianya 20 tahun. Larasati mencoba lari dari sangkar mewah itu. Tapi semua sia-sia, penjagaan rumah itu begitu ketat.
Namun itu semua jadi berbeda saat dirinya bertemu dengan Elang. Laki-laki itu memberinya sebuah harapan. Dia memberikan Larasati semangat baru. Elang begitu kharismatik. Dengan sikap tenang, tatapan yang tajam namun teduh, tutur kata yang lembut dan menyejukkan. Larasati begitu terpesona dengan sosok laki-laki ini. Cinta itu tumbuh di hatinya tanpa perduli apa yang akan terjadi. Dia sama sekali tidak takut kalau Elang akan menipunya. Dia begitu yakin kalau laki-laki ini baik.
Pada suatu hari, tamparan keras mendarat di pipi Larasati. Seseorang telah melaporkan tentang hubungannya dengan Elang. Laporan itu diterima suaminya dan membuat laki-laki itu murka. Pertengkaran hebat pun terjadi.
“ Jangan harap kamu bisa bersama dengan orang berengsek itu!!!” teriak suaminya sembari menjambak rambut Larasati.
“ Terserah, kalau perlu usir aku dari sini. Biarkan aku bebas!!!” balas Larasati tak kalah keras.
“ Baik! Kamu boleh tinggalkan tempat ini dan jangan harap mendapat sepeser pun dari harta ini! Kamu bakal menyesal Larasati!!!”
Pertengkarannya dengan sang suami tidak menyisakan apapun selain baju yang melekat di badannya. Dengan kasar para penjaga rumah mendorongnya keluar dari rumah mewah itu. Dia terusir. Larasati melangkah dengan tertatih. Dia tidak memiliki tujuan. Hanya satu tujuan yang dia tahu, yaitu tepi pantai. Dia berharap bisa bertemu dengan Elang, orang yang sangat dia cintai. Tapi sampai di sana tepi pantai itu lengang. Tidak seorang pun duduk di tepinya. Larasati tetap menunggu.
Sehari, dua hari, dan hari terus berganti. Larasati terus saja datang dan pergi ke pantai itu dengan harapan bisa bertemu dengan Elang. Tapi selama itu dia menanti hanya harapan kosong yang dia peroleh. Sampai hari ini dia masih menanti. Dia masih menunggu seorang Elang.
Larasati, selalu duduk di tepi pantai ini. Dia tidak tahu kemana harus mencari Elang. Namun dia berharap bertemu dengan laki-laki itu di sini. Dengan harapan itu dia teru datang ke pantai ini. Menunggu sampai matahari terbenam lalu pergi lagi dan kembali esoknya. Larasati tidak pernah tahu kalau Elang tidak akan datang. Laki-laki itu bukanlah sebaik yang dia pikirkan. Elang tahu siapa Larasati dan menegerti betul cara memanfaatkan situasi yang ada. Dia tidak pernah benar-benar jatuh cinta dengan Larasati. Hanya uang untuk biayanya melanjutkan pendidikan S2 di Roma yang di carinya dan yakin dia bisa mendapatkan semua itu dengan memanfaatkan Larasati. Di sini, di pantai ini, orang suruhan dari suaminya telah memberikannya uang imbalan besar untuk meninggalkan Larasati. Pergi jauh, sejauh mungkin sehingga perempuan ini tidak bisa menemukannya. Mereka berpikir dengan menghilangnya Elang akan membuat Larasati kembali kepelukan suaminya.
Hanya Tuhan, aku pasir, angin dan ombak tahu apa yang sedang terjadi pada Larasati. Kami iba dan sedih melihat gadis secantik dia kini menjadi seorang gelandangan yang tidak memiliki tujuan hidup kecuali menanti orang tidak akan pernah datang untuk menjemputnya. Menanti laki-laki yang keteguhannya bisa dibeli dengan sejumlah uang. Terkadang kami berpikir apakah Larasati pantas menderita untuk laki-laki semacam itu? Bukankah dia terlalu berharga untuknya? Kapan kebahagiaan menghampirinya, sehingga bukan air mata lagi yang akan kami lihat ketika dia datang kembali ke pantai ini. Seandainya aku bisa menceritakan semua padanya dan memintanya untuk melupakan Elang. Aku juga akan mengatakan kalau dia harus hidup bahagia. Tapi aku tidak bisa, aku tidak bisa berbicara. Karena aku hanya butiran pasir.
Bobol Gawang Everton, Rekor Giggs Kian Panjang
11 tahun yang lalu